Merah Putih Jiwaku Erat Memelukmu
Kekasihku, di itikafmu mereka
Merusak khusyuk pencarianmu
Berharap tenang merindu syahdu
Menikmati bersama Rabb-mu
Terusik terhempas gelegar mesiu
Pencarian malam seribu bulan
Lailatul Qadar-mu di Al Aqsha
Dibela batu berkawan Quran
Menjaga mulia Baitul Maqdis
Kiblat pertama kita nan suci
Saudaraku, di sini aku berteriak!
Geram!
Marah!
Sedih!
Tontonan tangan-tangan bengis
Dentuman luluh lantakkan
Tangis anak-anak dan kaum ibu
Menyulap Gaza merah saga
Ulah para manusia kera biadab
Begitu menoreh luka pilu
Saudara surgaku!
Cintaku di sini mahabbah suci
Menyapa dan membelamu terpatri
Rinduku selalu membersamaimu
Merah putih jiwaku erat memelukmu
Wahai! Pemilik Al Aqsha
Teguhkan sabarkan menangkan
Kekasihku saudara surgaku
Di bumi Gaza Palestina
Amin ya Rabbal ‘alamin
Padang, 14 Syawal 1442 H/26 Mei 2021M
Pukul 22.02 WIB di Bumi Ar Risalah
Iqra
Gelisah hati makin menjadi
Usia 40 tahun puncak menyendiri
Di Gua Hira bulan Ramadhan
Allah mengutus malaikat Jibril
Menyampaikan wahyu-Nya
Jibril datang serupa lelaki tampan
Mengejutkan Muhammad di kesendirian
“Bacalah!” Jibril perintahkan
“Aku tidak bisa membaca”
Muhammad ketakutan
“Bacalah!” Lanjut Jibril menegaskan
“Apa yang harus kubaca?” Muhammad gemetaran
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan
Menciptakan manusia dari segumpal darah
“Bacalah! Dan Tuhanmu Maha Pemurah
Yang mengajarkan dengan pena
Mengajarkan kepada manusia apa yang belum kamu ketahui
Alquran mukjizat terbesar
Bermula iqra terpatri di hati Sang Nabi
Jibril pun hilang tak berkabar
Rasul bergegas pulang minta diselimuti
Guruku Kau Semangatku
Guruku kaulah semangatku
Kau ajarkan aku mengenal Rabb-ku
Kau bawa aku menyelami Sirah Rasulullah
Muhammad SAW Tauladanku
Kau bimbing aku mengeja Alif Ba Ta
Kau bina aku dengan kesabaran membaca
Hingga aku bisa membaca surat cinta dari-Nya
Mengkristal Alquran jadi pedomannya
Guruku saksikanlah anakmu
Melanjutkan perjuanganmu
Membina generasi bangsamu
Belajar sabar berbagi ilmu
Mengharap ridho dan ikhlas ayah bundaku
Menjemput ridho Allah Rabb-ku
Padang, 5 Oktober 2020
Biodata Penulis:
Ali Usman, S.S., M.Pd. lahir di Padang, 25 Februari 1982. Memiliki satu istri dan empat orang mujahid dan mujahidah. Sehari-hari bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Pernah beberapa kali terpilih sebagai kepala sekolah berprestasi tingkat Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat
Peduli dengan Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Merusak khusyuk pencarianmu
Berharap tenang merindu syahdu
Menikmati bersama Rabb-mu
Ada satu pemufakatan besar dalam menulis puisi yang harus sadar dan dipertimbangkan, menurut T.S. Eliot (2020), yaitu puisi bukanlah satu pelonggaran emosi, melainkan satu pelarian dari emosi; ia bukanlah ekspresi kepribadian, melainkan satu pelarian dari kepribadian. Hanya mereka yang memiliki kepribadian dan emosi yang tahu apa yang dimaksud dengan ingin melarikan diri dari hal-hal tersebut.
Pada edisi ini, Kreatika memuat tiga buah puisi Ali Usman. Puisi-puisi tersebut berjudul “Merah Putih Jiwaku Erat Memelukmu”, “Iqra”, dan “Guruku Kau Semangatku”. Puisi pertama, “Merah Putih Jiwaku Erat Memelukmu” mengungkapkan keprihatinan penulis terhadap krisis kemanusiaan yang dialami bangsa Palestina akibat penjajahan Israel.
Dari berita di media, kita mendapat informasi mengenai berbagai serangan Israel yang telah merenggut banyak korban jiwa mulai dari anak-anak, perempuan, hingga orang dewasa. Ratusan warga, termasuk perempuan dan anak-anak, meninggal dunia. Korban luka-luka diperkirakan lebih dari seribuan orang. Selain itu, puluhan ribu pengungsi akibat serangan Israel terpaksa meninggalkan rumah dan negeri mereka yang telah luluh lantak.
Sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, bangsa Indonesia berkomitmen terhadap kepentingan kemanusiaan dunia dan menyikapi secara tegas konflik Israel dan Pelestina. Alinea pertama Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara tegas mengamanahkan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Oleh karena itu, Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga berkemanusiaan yang adil dan beradab, Indonesia harus membela Palestina. Segala bentuk agresi, penjajahan, penindasan, permusuhan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM lainnya, bertentangan bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Puisi “Merah Putih Jiwaku Erat Memelukmu” yang ditulis Ali Usman menjadi refleksi batin orang Indonesia yang cinta damai yang merasa terluka melihat penderitaan bangsa Palestina. Ali menulis: “Saudara surgaku!/ Cintaku di sini mahabbah suci/ Menyapa dan membelamu terpatri/ Rinduku selalu membersamaimu/ Merah putih jiwaku erat memelukmu”. Puisi ini mempertegas sikap bangsa Indonesia yang sangat peduli dengan bangsa Palestina. Sakit yang mereka rasakan adalah juga sakit bagi orang-orang Indonesia.
Selain memberi perhatian terhadap persoalan Palestina, Ali Usman juga menulis puisi tentang guru. Sekolah adalah lingkungan terpenting dalam perkembangan seorang anak setelah keluarga. Guru adalah orang tua kedua yang memberikan pendidikan dan tauladan. Pembentukan karakter seorang manusia tidak lepas dari andil guru-gurunya di sekolah. Sudah sepatutnya semua orang berterima kasih kepada guru-gurunya yang telah membagi pengetahuan sebagai perangkat untuk menjalani kehidupan sesuai ajaran dan nilai-nilai. ‘Guruku saksikanlah anakmu/ Melanjutkan perjuanganmu/ Membina generasi bangsamu,’ demikian tulis Ali.
Merujuk pada pendapat Eliot tentang bagaimana seorang penulis dalam menciptakan karya, kita dapat melihat bagaimana Asul Sani ‘menjadi’ seorang ibu melalui puisi “Surat dari Ibu” berikut:
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan yang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nahkoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi kita akan bercerita
“tentang cinta dan hidupmu pagi hari”
(Tonggak 1, 1987)
Puisi karya Asrul Sani di atas berhasil bersuara sebagai seorang ibu yang bernasihat kepada anaknya. Puisi tersebut sangat menggugah perasaan dan dapat memperkaya batin pembaca untuk menuruti nasihat ibu agar berjuang mencari ilmu dan mencari pengalaman sebanyak mungkin di masa muda. Selain itu, nada yang dapat ditangkap dari puisi tersebut adalah kelembutan jiwa seorang ibu yang penuh kasih sekaligus bijak.
Bagaimana pun juga, puisi adalah media untuk mengungkapkan gagasan, perasaan, dan tentu saja pesan kepedulian. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.