Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Motor berplat BA yang saya bawa dari Padang memasuki kawasan kampus FIB UGM Yogyakarta. Di tempat parkir sudah berjejer ratusan motor. Pemiliknya rata-rata mahasiswa. Platnya beragam. Dominan AB. Di sudut parkir yang agak jauh tampak berjejer beberapa sepeda kayuh yang boleh dipakai oleh siapa saja di dalam lingkungan kampus. Hari itu saya ke kampus karena ada kuliah dengan Profesor Bakdi Soemanto, seorang dosen senior di FIB UGM.
Rata-rata mahasiswa yang pernah belajar di Yogyakarta akan mengatakan bahwa suasana belajar di kota ini enak dan nyaman. Fasilitas penunjang pembelajaran lengkap untuk ukuran Indonesia. Universitas-universitas berkualitas di kota ini tidak hanya UGM dan UNY, tetapi juga banyak universitas lain. Perpustakaan sebagai penyangga dan pendukung proses pembelajaran dengan koleksi buku yang lengkap dan open akses untuk semua pembelajar ada di banyak tempat, baik di kampus maupun perpustakaan umum/swasta. Toko buku ada di setiap sudut kota. Penerbit dan percetakan juga banyak. Biaya hidup yang menjadi kendala jamak pelajar dan mahasiswa kita, di Yogyakarta lebih murah dibandingkan kota lain di Jawa. Tidaklah salah kiranya julukan sebagai kota pelajar disematkan ke kota Yogyakarta.
Ketika saya menempuh studi magister dan sekarang studi doktor di UGM Yogyakarta, saya merasakan suasana itu. Iklim Yogyakarta sebagai kota pelajar tak berubah dari dulu hingga kini. Kalaupun ada yang terlihat berubah, itu lebih pada gaya hidup. Saat ini, muncul banyak fasilitas hedonis di lingkungan pelajar dan mahasiswa, mulai dari kontrakan eksekutif di wilayah padat mahasiswa di sekitaran kampus hingga kedai-kedai makan bergaya kekinian (kafe dan resto) yang semuanya memangil-manggil isi dompet. Sewa kontrakan saat ini jauh lebih mahal dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Warung-warung tradisional tempat makan murah, kini beralih ke kafe-kafe yang mahal. Kehadiran rumah sewa eksekutif juga memicu naiknya sewa kontrakan biasa/standar. Jadilah sewa kontrakan di Yogyakarta semakin hari semakin mahal dari yang biasanya. Biaya hidup jika tidak gengsi-gengsian, masih murah. Walaupun ada yang berubah, antusias pembelajar dari berbagai daerah di nusantara tak surut untuk datang dan belajar ke Yogyakarta.
Pembelajar yang ke Yogyakarta tidak hanya semata untuk kuliah. Selepas dari ruang kuliah mereka menikmati Yogyakarta. Kuliah iya. Itu yang utama. Menikmati Yogyakarta iya juga. Itu juga penting. Sekali datang ke Yogyakarta, dua tiga maksud tercapai. Bagi sebagian mereka, banyak hal dapat dikisahkan dari Yogyakarta. Seperti saya sekarang ini, bisa menceritakan yang terserak dan yang dipungut dari Yogyakarta. Saya menikmati kuliah di UGM. Dinamikanya saya suka. Saya lulus magister dengan predikat cumlaude. Ketika kuliah doktor saat ini, saya juga menikmatinya. Selain di dunia akademik itu, saya juga menikmati suasana sosial di Yogyakarta. Jika tidak ke sini, saya tidak akan mengenali kehidupan warga lokal Yogyakarta.
Di ruang kuliah bersama Prof. Bakdi Soemanto, seisi kelas diminta untuk mendiskusikan intisari Kota Yogyakarta. Perkuliahan sampai ke masalah ini karena berkaitan dengan kearifan lokal yang menjadi salah satu bagian dari silabus kuliah. Menurut Prof. Bakdi, titik pusat Yogyakarta adalah Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang lebih populer dengan sebutan Kraton Yogyakarta. Kraton Yogyakarta selain berfungsi sebagai tempat kediaman Sultan Yogyakarta, sebagian areanya dapat dikunjungi oleh publik sebagai tempat pelesiran atau wisata yang pengelolaannya dilakukan oleh Kawedanan Radya Kartiyasa. Kraton Yogyakarta ramai dari pagi hingga malam hari.
Jika Dunsanak pernah ke Yogyakarta dan pernah ke Kraton Yogyakarta, Dunsanak dapat membayangkan letak/posisinya. Di atas Kraton Yogyakarta membentang garis imajiner sumbu filosofis Yogyakarta. Garis ini memanjang dari utara ke selatan, berawal dari Gunung Merapi di utara melewati Tugu Yogyakarta (dulunya Tugu Golong Gilig), lalu Kraton Yogyakarta sebagai pusat sumbu, kemudian Panggung Krapyak, dan berakhir di Pantai Parangkusumo (Parangtritis) di selatan. Jadi, jika dihubungkan titik-titik yang dilewati itu akan membentuk garis lurus dari utara ke selatan dengan pusat sumbu di Kraton Yogyakarta.
Garis imajiner dimaksud bermakna filosofis, melambangkan hubungan manusia dengan dengan Tuhan Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi sebagai titik tertinggi melambangkan hubungan manusia (yang rendah) dengan Sang Pencipta (yang tinggi). Garis yang membentang dari utara ke selatan melambangkan perjalanan manusia kembali ke sang penguasa. Jika dirinci lebih detail, garis dari Pantai Selatan ke Panggung Krapyak melambangkan seorang manusia yang lahir dari seorang ibu menuju masa kanak dan remaja. Garis dari Panggung Krapyak ke Kraton Yogyakarta melambangkan perjalanan manusia dari fase remaja menuju dewasa. Kraton Yogyakarta yang menjadi pusat garis/sumbu karena posisinya di tengah melambangkan manusia yang sudah mapan dan dewasa. Seterusnya garis dari Kraton ke utara sampai ke Tugu melambangkan fase dewasa ke atas di mana manusia semakin intens berserah diri kepada Tuhan. Adapun garis imajiner antara Tugu dengan Gunung Merapi melambangkan akhir dari perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta.
Ada pun menurut kepercayaan masyarakat lokal di Yogyakarta, Laut Selatan melambangkan perempuan (secara mitologis dikenali sebagai Nyi Roro Kidul) dan Gunung Merapi melambangkan laki-laki. Keraton yang berada di tengah-tengah menjadi penghubung atau penyeimbang di antara keduanya. Adapun secara simbolis, garis imajiner ini melambangkan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas).
Kraton Yogyakarta sebagai pusat sumbu filosofis Yogyakarta pada mula dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Konsep pembangunannya dirancang agar memiliki nilai historis dan filosofis. Saat dibangun, Sri Sultan pertama itu membangun beberapa bangunan bernilai historis dan filosofis yang ditarik dari garis lurus menjadi sumbu imajiner. Jika dari Kraton kita berjalan lurus saja ke utara, kita akan melewati Malioboro, Tugu, dan pada akhirnya mentok di Gunung Merapi. Jika dari Kraton kita berjalan lurus pula ke selatan, kita akan melewati Panggung Krapyak, dan akhirnya mentok pula di Pantai Laut Selatan (Pantai Parangtritis). Sri Sultan Hamengkubuwono I membangun fasilitas pendukung di sekitar kraton dengan konsep Catur Gatra Tunggal, yaitu menyatukan elemen pemerintahan, ekonomi, sosial, dan agama secara terpusat. Itulah mengapa di sekitar Kraton Yogyakarta (pusat pemerintahan) kita dapat menemukan Pasar Beringharjo dan kawasan Malioboro (ekonomi), Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan (sosial), dan Masjid Ghede Kauman (agama).
Begitulah, jika ke Yogyakarya tidak lengkap rasanya perjalanan bila tidak ke kawasan Kraton Yogyakarta. Bagi pelajar dan mahasiswa dari luar Yogyakarta, hal paling utama yang dikejar sesampai di Yogyakarta adalah ke Tugu, Malioboro, dan kawasan Kraton Yogyakarta. Tiga titik imajiner di pusat Kota Yogyakarta. Apalagi saat ini di sekitar Alun-alun Utara dan Selatan banyak kafe dan tempat kongkow-kongkow yang menarik bagi kaum muda. Yang perlu disediakan adalah uang. Mungkin itu salah satu beda Yogyakarta sepuluh tahun yang lalu dengan Yogyakarta saat ini. Adapun tentang Kraton dengan sumbu filosofis Yogyakarta tidak ada bedanya dari dulu hingga sekarang.
Jadi, Yogyakarta memang unik dibandingkan kota lain di Jawa. Yang saya ceritakan ini baru satu pungutan dari banyak titik yang terserak mengenai Yogyakarta. Wallahualam Bissawab.