Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Seorang teman menghampiri kami saat sedang diskusi materi kegiatan yang akan dilakukan esok. Sepertinya ia menghampiri kami ingin menunjukan sesuatu. Sebab teman yang satu ini memang suka bikin kejutan di awal pertemuan.
Saat berjalan menghampiri kami, ia mengeluarkan saputangan hitam dari saku kiri celananya. Saputangan itu cukup lebar. Setidaknya sapu tangan itu bisa menutupi semua telapak tangannya. Saputangan itu memiliki corak garis secara vertikal berwarna abu-abu. Perpaduan warna itu klop dengan pakaian dan sepatu yang ia gunakan. Kami menyangka mungkin ia sedang memamerkan baju, celana, dan sepatu baru itu. Seperti biasa, dalam nuansa cadaan dan guyon kami sering begitu terhadap barang baru yang digunakan di tongkrongan.
Tanpa basa-basi saya langsung saja menyampaikan bahwa ia ingin memamerkan outfit yang digunakan. Tentu dengan cara saya pula. Guyon yang mungkin saja terdengar satire, tetapi itu candaan bagi kami. Namun begitu, tidak ada yang tersinggung atau berujung pertikaian.
Ternyata tidak saya saja yang berpikiran begitu, rekan lainnya juga. Hanya saja tidak semua yang berani untuk menyindirnya di awal. Mungkin saja merasa takut karena sudah lama tidak bercanda satire seperti saat kuliah dulu. Bukan itu saja, masih ada kejutan lainnya. Mengenai outfit yang ia gunakan. Memang bagian yang ingin dipertunjukan, tetapi ada hal yang lebih penting lagi. Saya kira, mungkin hal ini yang menjadi utama dari sesuatu yang ingin ia pamerkan.
Ia mengajak kami untuk tidak hanya melihat outfit yang sedang dikenakan, tetapi juga benda yang sedang digenggam. Sehelai saputangan hitam bercorak garis abu-abu. Sapu tangan itu ia kibaskan ke arah muka seorang teman. Sontak itu membuat kami terkejut, bukan karena kibasan itu, tetapi juga mantra yang ia ucapkan. Entah mantra apa yang ia baca, tetapi itu cukup membuat kami terkejut. Pembacaan mantra dan hentakan kaki yang lumayan keras pemicunya. Kami pun heran melihat aksi yang ia lakukan.
Ternyata, aksi yang sedang dilakukan itu bagian dari pertunjukan sulap yang ingin diperlihatkan kepada kami. Sambil melakukan aksinya dengan sapu tangan itu, ia menceritakan proses belajar trik tersebut. Kami baru tahu bahwa ia dalam beberapa bulan belakangan belajar trik-trik sulap.
Berbagai macam trik yang ia lakukan, mulai dari mengeluarkan bunga hingga permen dari balik saputangan. Kami tentu mengapresiasi aksinya itu. Ada bertepuk tangan dan ada pula yang bersorak kegirangan. Itu langka dan jarang terjadi pada tongkrongan kami. Terkadang, ia juga dapat menghilangkan sesuatu dari balik saputangan itu. Sungguh memukau aksinya itu bagi kami yang benar-benar tidak pandai sulap. Namun begitu, seorang teman pun mencoba meminjam saputangannya dan hendak melakukan trik sulap pula.
Ia tiru pula gaya yang dilakukan sebelumnya hanya saja tanpa mantra. Ketika hendak meniup saputangan, ia pun menghentakan kaki. “Fuuuhhh” saat saputangan dikibaskan ia mengambil uang kertas pecahan seratus ribu dari saku bajunya.
“Silakan teman-teman gunakan untuk bayar semua minuman ini” katanya. Tentu disambut gelak tawa dan tepuk tangan yang riuh dibandingkan trik sulap sebelumnya. Sungguh trik yang sangat berguna. Memang kalau uang sudah “bicara” semua bisa bergembira. Paling tidak begitu yang kami rasakan dari peristiwa di balik saputangan hitam itu.