Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Mohammad Natsir merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang lahir pada 17 Juli 1908. Lahir di tahun tersebut membuatnya tumbuh di bawah pemerintahan kolonial Belanda dan diwarnai berbagai pergolakan, termasuk PRRI di kampung halamannya sendiri.
“Perjuangan” pertama Natsir dilakoninya ketika berusia 7 atau 8 tahun. Ketika itu perjuangannya belum mengacu pada perjuangan melawan penjajahan Belanda, melainkan pada upayanya dalam menjalani pendidikan.
Kala itu Natsir mengupayakan pendidikan dengan penuh kegigihan. Di siang hari ia mengikuti sekolah umum, sedangkan di malam hari ia mengikuti kelas di Adabiyah. Di sekolah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad itu Natsir mendapat pendidikan yang cukup berkualitas dari para gurunya. Setelah lulus dari Adabiyah Natsir kemudian melanjutkan studinya dengan bersekolah di HIS.
Ketika Natsir berusia belasan tahun, ia telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang mandiri. Ketika tinggal bersama bibinya, Macik Rahim, ia berperan sebagai juru masak. Setiap malam, ia akan menyusuri pantai untuk mengumpulkan kayu bakar. Bagi Natsir, dengan berkontribusi dalam keluarga tersebut ia terbebas dari perasaan hutang budi. Prinsip itu menjadi pegangan hidupnya di kemudian hari. Bagi Natsir, kebahagiaan tidak lahir dari kekayaan dan kemudahan, melainkan melalui hati yang terbebas dari penindasan.
Natsir muda pernah memiliki pemikiran bahwa orang Belanda lebih unggul dibandingkan orang Indonesia. Namun, ketika mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Natsir menemukan fakta bahwa warna kulit tidak menjamin keunggulan akademis suatu bangsa.
Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO, Natsir memperoleh kesempatan untuk menjadi juru tulis. Di kala itu, ia berpikir dengan bekerja ia dapat membantu keluarganya lebih banyak. Sebab di saat yang sama, ayahnya telah memasuki masa pensiun dari pekerjaan. Namun, ayahnya lebih mendukungnya untuk tidak terputus dari jenjang pendidikan. Natsir yang lulus dengan hasil memuaskan mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung. Kesempatan ini pun tidak ia sia-siakan.
Di AMS, Natsir menyadari ketertinggalannya dari siswa-siswa di Jawa. Untuk mengatasi hal ini, ia berjang dengan keras untuk studinya. Ia menghabiskan enam hari dalam seminggu untuk belajar dari pagi hingga malam. Natsir yang semula memiliki ketertarikan untuk menekuni biola terpaksa mengenyampingkan minat tersebut karena tidak ingin mengganggu perhatiannya terhadap studi yang dijalani.
Kerja keras Natsir dalam belajar membuahkan hasil yang amat memuaskan. Ia mendapat nilai 9 ketika rekan-rekannya hanya mampu mendapat nilai 3 dan 4 dalam bahasa Latin. Meskipun demikian, Natsir ketika itu belum terlalu fasih dalam menggunakan bahasa Belanda. Hal ini membuat dirinya mendapat cemoohan dari gurunya. Untuk mengatasi hal itu, ia pun kembali belajar dengan keras untuk meningkatkan kemampuan bahasanya.
Seiring bertemunya Natsir dengan beragam pendidikan dari tanah kelahiran hingga ke perantauan membuat makna “perjuangan” baginya semakin kompleks. Berawal dari perjuangan dalam pendidikan ini pulalah yang membentuk pemikirannya mengenai nasionalisme, politik, dan agama hingga menjadi salah satu pahlawan yang membawa kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.