Jauh di perantauan, si anak rantau dibuncah rindu menjelang datangnya 1 Syawal. Ketika gema takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih berkumandang di senja terakhir Ramadan, berbagai hal terbayang di kepala si anak rantau. Masakan Ibu seperti rendang, opor ayam, ketupat lebaran, lemang, kue-kue, dan sebagainya sudah serasa di ujung lidah. Para Dunsanak dan handai taulan terbayang seperti sedang mengabit-ngabit memberi salam selamat datang di rumah Mande. Kampung halaman seperti bersorak memberi kabar indah dan akrabnya Idulfitri.
Kerinduan si anak rantau semakin membuncah tak karuan manakala Dunsanak lain yang seperantauan mengirim kabar di medsos bahwa mereka telah menginjakkan kaki di ranah yang diimpikan. Mereka sedang mudik mengobati gundah, sementara si anak rantau tidak bisa pulang. Ditemani sepi penghujung Ramadan, si anak malang hanya bisa bergumam sambil mengurut dada, “Mudah-mudahan tahun depan bisa pulang. Sudah tiga kali lebaran dengan ini tidak bisa pulang. Sudah seperti Bang Toyyib saja”.
Usai salat Id, si anak rantau dibalut sepi. Ketika kembali ke rumah, tidak ada suasana seperti berlebaran di kampung. Hanya tertentu saja tamu-tamu yang datang untuk makan ketupat atau sekedar mencicipi kue dan minuman yang disiapkan. Tidak ada riuh-rendah suara anak-anak yang “manambang” dari rumah ke rumah meminta jajan hari raya seikhlasnya. Tidak ada acara doa mendoa, tidak ada sungkeman, tidak ada jalang-menjalang, tidak ada acara makan-minum bareng sambil happy-happy dengan keluarga besar, dan sebagainya. Kalaupun si anak rantau bisa kumpul-kumpul dengan karib kerabat dan para Dunsanak, itu hanya dapat dilakukan melalui ponsel. Sebuah fatamorgana bagi si anak rantau.
Saya beberapa kali pernah berlebaran di perantauan. Ketika saya tinggal di Yogyakarta, saya beberapa kali berlebaran di sana. Begitu pun ketika saya berada di Seoul, Korea Selatan, saya juga berlebaran di sana. Jadi, saya bisa merasakan suasana berlebaran si anak rantau di tempat-tempat itu. Berlebaran di Yogyakarta masih seperti di tempat sendiri walaupun jauh dari rumah Mande di ranah Minang, sedangkan berlebaran di kota Seoul, Korea Selatan membuncahkan rindu karena berlebaran di sana jauh dari suasana lebaran yang sejatinya. Berlebaran di Kota Seoul kita dihadapkan dengan suasana yang heterogen (non-Muslim), berbeda dengan di Yogyakarta yang masih dalam lingkungan yang homogen (Muslim).
Di Seoul dan kota-kota lain di Korea, suasana lebaran terasa hanya sekejap saja. Selepas salat Id, para jemaah bersalam-salaman mempererat silaturrahim. Sebagian yang lain berkumpul sambil menikmati makan-minum di restoran-restoran Muslim yang ada di lingkungan masjid Itaewon, setelah itu kembali ke rumah masing-masing melanjutkan aktivitas seperti sediakala. Si anak rantau yang bekerja akan kembali ke tempat kerjanya karena Idulfitri bukan kalender merah. Si anak rantau yang kuliah akan kembali ke kampusnya melanjutkan rutinitas studi mereka. Ada pun mereka yang berkesempatan menikmati suasana lebaran karena memiliki waktu luang biasanya akan mengunjungi tempat-tempat relaksasi yang ada di sekitar Seoul. Ini jumlahnya hanya sebagian kecil saja. Itu pun dilakukan di tengah hiruk-pikuk warga lokal yang sedang beraktivitas sebagaimana biasanya. Tempat-tempat favorit yang biasa dikunjungi di Seoul, misalnya Ttukseon Hangang Park, Nam-sam tower, Children Grand Park, kompleks Muslim Itaewon, Istana Raja Sejong, kawasan pedestrian di Myeongdong, pusat perbelanjaan Namdaemun dan Dongdaemun, kawasan Gangnam, Pulau Nami, berbagai museum yang ada di Seoul, dan sebagainya.
Saat momen lebaran tiba, acara yang dinanti-nanti si anak rantau ialah kumpul-kumpul sesama warga Indonesia yang diinisiasi oleh perhimpunan-perhimpunan Indonesia yang ada di Korea Selatan. KBRI biasanya melaksanakan acara open house, tetapi tidak semua si anak rantau dapat datang ke sana karena berbagai alasan. Acara kumpul-kumpul menjadi momen penting untuk merajut kebersamaan. Biasanya dilaksanakan di rumah salah seorang WNI atau di taman-taman kota yang disepakati bersama. Kadang juga di gedung pertemuan yang sengaja disewa secara bersama-sama.
Kumpul-kumpul sesama warga Indonesia dapat menjadi sitawa sidingin mengobati gundah kerinduan pada kampung halaman di saat lebaran tiba. Biasanya acara kumpul-kumpul diadakan di akhir pekan selepas lebaran agar banyak yang berkesempatan untuk datang. Beruntung bila waktu lebaran bertepatan dengan akhir pekan sehingga acara kumpul-kumpul bisa langsung dapat dilaksanakan selepas salat Id. Minimal setengah hari. Pada momen kumpul-kumpul tersebut, selain bersilaturahim, berbagai kegiatan kekeluargaan ala Indonesia dilaksanakan. Juga ada acara makan-makan. Berbagai menu nusantara ada di sana. Setiap yang datang membawa menu sesuai ciri khas daerah masing-masing. Apa yang dibawa kemudian oleh panitia dikumpulkan, disatukan, lalu dinikmati secara bersama-sama. Nano-nano khas Indonesia. Asyik dan menyenangkan. Anak-anak serta emak-bapaknya sama-sama bergembira.
Begitulah, momen kumpul-kumpul sesama Indonesia ini jarang dilewatkan oleh si anak rantau yang ada di Seoul dan sekitarnya. Juga kota-kota lain di Semenanjung Korea. Tidak jarang pula para si anak rantau sengaja datang dari berbagai kota untuk memanfaatkan momen indah ini. Warga Indonesia yang ada di Busan atau kota-kota lain di Korea datang ke Seoul atau sebaliknya untuk kumpul-kumpul di saat lebaran ini. Agaknya, acara kumpul-kumpul ini lebih dari sekedar sebuah pertemuan. Di dalamnya terimplisit semangat kebersamaan dalam keberislaman (ukhuwah Islamiyah) serta semangat kebangsaan. Momen kumpul-kumpul ini tidak kalah maknanya dengan suasana berlebaran yang ada di kampung.
Selanjutnya, ketika saya berlebaran di Yogyakarta, yang menjadi catatan saya sama saja bahwa suasana lebaran merupakan ajang untuk kita membangun silaturrahim dan menghibur diri dari kegundah-gulanaaan demi merajut kegembiraan. Aktivitas berlebaran si anak rantau di Yogyakarta tidak jauh berbeda dengan di tempat lain di perantauan mana pun di Indonesia seperti yang juga terjadi di perantauan luar negeri. Selepas salat Id, aktivitas dilanjutkan dengan saling silaturrahim sesama. Kumpul-kumpul dan makan-makan. Si anak rantau di Yogyakarta tidak berkumpul dengan keluarga dekat karena mereka berada di kampung, tetapi dengan keluarga sesama perantau atau dengan keluarga baru yang terbangun di lingkungan tempat tinggal masing-masing hasil asimilasi dengan warga lokal. Selepas kumpul-kumpul silaturrahim itu kegiatan dilanjutkan dengan healing ke tempat-tempat wisata. Agaknya aktivitas mengunjungi tempat wisata (relaksasi) selepas lebaran telah menjadi tradisi di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri.
Destinasi-destinasi favorit yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya yang ramai dikunjungi setelah lebaran di antaranya kawasan Malioboro di pusat kota Yogyakarta, kraton Ngayokyakarta, Taman Pintar, kawasan lereng Merapi dan Kaliurang, kawasan Pantai Parangtritis, kawasan percandian Prambanan dan Borobudur, taman margasatwa Gembira Loka, taman edukasi Monjali, dan tempat-tempat lain yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat setempat baik berupa wisata alam, wisata air, wisata kuliner , wisata oleh-oleh, maupun wisata religi.
Di destinasi-detinasi itu si anak rantau menggoreskan kronik-kronik lebaran mereka. Di sana mereka tidak hanya sekadar bertemu, kumpul-kumpul, ngobrol-ngobrol, makan-makan, dan sebagainya, tetapi lebih pada bagaimana mereka merajut ukhuwah sesama perantau dan juga membangun hubungan baik dengan warga tempatan. Di tempat-tempat itu si anak rantau mengobati kerinduan yang membuncah terhadap kampung halaman yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Si anak rantau tidak hendak menjadi Bang Toyyib yang sudah tiga kali lebaran tak pulang-pulang. Mereka yang tidak bisa mudik pada lebaran tahun ini beralasan ini dan itu. Padahal, sesungguhnya hanya karena biaya yang tidak cukup untuk memboyong seluruh anggota keluarga yang telah tumbuh dan besar di rantau. Teruslah berbuat, Sanak! Lebaran tahun depan Insya Allah bisa pulang basamo. Gema takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih yang berkumandang di senja terakhir Ramadan tahun depan terdengar dari masjid depan rumah Mande, di kampung nan den cinto. Wallaahualan Bissawab.