Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Dalam beberapa hari lalu, saya mendapat kesempatan untuk terlibat dalam pelatihan membatik. Sebenarnya kegiatan pelatihan membatik bukan hal baru, karena dalam dua tahun terakhir saya sering terlibat dalam kegiatan serupa. Kebetulan tempat saya berkegiatan, lembaga SURI (Surau Intellectual for Conservation) memperoleh program Danaindonesiana untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Menariknya, pelatihan membatik yang diselenggarakan oleh lembaga SURI selalu menggunakan motif-motif dari pengembangan iluminasi manuskrip Minangkabau. Namun, untuk pelatihan yang baru dilaksanakan ini kami melibatkan teman-teman penyandang disabilitas tunarungu. Tentu saja, hal ini menjadi pengalaman yang unik dan pertama bagi saya.
Pengalaman pelatihan itu mengajarkan saya banyak hal. Hal paling berkesan bagi saya bahwa komunikasi bukan hanya tetang suara, tetapi juga tentang hati yang terbuka. Saya menyadari bahwa setiap individu memiliki keunikan dan kekuatan tersendiri, yang dapat bersinar jika diberi kesempatan.
Lebih dari sekadar pelatihan membatik, pengalaman ini adalah tentang menghargai perbedaan dan menemukan keindahan dalam setiap langkah yang kita ambil bersama. Namun di balik kebersamaan dalam pelatihan itu, ada hal yang membuat saya tertegun tentang persitilahan yang sering digunakan, tunarungu atau difabel rungu.
Melalui Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang mendampingi kegiatan ini, ia mengatakan bahwa teman-teman penyandang difabel rungu lebih suka dipanggil dengan sebutan Teman Tuli. Bagi mereka istilah tunarungu/difabel rungu dipahami memiliki konotasi negatif. Penjelasan dari JBI, tunarungu dimaknai sebagai penyakit atau istilah dalam dunia medis.
Istilah Teman Tuli (mengunakan kapital T) lebih disukai bagi mereka karena dimaknai sebagai identitas. Sejak itu, saya selalu menggunakan istilah Teman Tuli saat berkomunikasi dengan mereka (sering dibantu dengan Juru Bahasa Isyarat).
Pengalaman ini telah membuka hati dan pikiran saya. Dalam setiap gerakan tangan, senyuman, dan tatapan mata, saya menemukan keindahan yang begitu murni dari komunikasi tanpa suara. Menghargai perbedaan bukanlah sekadar menerima keberadaan mereka, tetapi juga merangkul dan memperlakukan mereka sebagai bagian integral dari kehidupan kita.
Teman Tuli telah mengajarkan saya bahwa setiap individu memiliki cara unik untuk berinteraksi dengan dunia. Dalam keberagaman inilah letak kekuatan sejati kita sebagai masyarakat. Saya merasa terhormat bisa berbagi waktu dan ruang dengan mereka, belajar tidak hanya tentang seni membatik, tetapi juga tentang seni berkomunikasi dan menghargai setiap langkah kecil dalam perjalanan hidup.
Pengalaman ini tidak hanya memperkaya pengetahuan saya tentang batik, tetapi juga memperdalam pemahaman saya tentang arti kebersamaan dan saling menghormati. Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu membuka hati dan pikiran, menerima setiap individu apa adanya, dan menyadari bahwa di balik setiap perbedaan, terdapat keindahan yang menunggu untuk ditemukan.