Oleh
Linda Tanjung
Tangannya lurus ke depan sampai sebatas bahu, sejajar dengan kaki kirinya. Kakinya pun mengikuti gerak tangannya. Satu persatu langkah kakinya berjalan seiringan namun tangan dan kaki tidak berlawanan seperti jalannya kaki orang normal. Tangan kanan sejalan dengan kaki kanan, tangan kiri sejalan dengan kaki kiri, dan tanganpun ayunannya sejajar bahu. Jalannya kalau dilihat seperti orang yang lagi gerak jalan tapi malah seperti robot berjalan.
Ditelusurinya jalanan antara gedung SD swasta ternama di kota ini, kemudian masjid dan rumahnya. Itulah areanya berjalan. Kadang sebatang rokok menyelip di mulutnya namun jalannya tetap seperti lagi gerak jalan. Patah-patah dan teratur merapatkan kedua belah kakinya sehingga bersentuhan antara kedua paha.
“Pen!” sapaku Ketika berpapasan dengannya.
“Yup!” jawabnya terkadang.
Hari itu kulihat dia lagi singgah di kedai nasi. “Minta minum Pak.” pintanya pada pemilik kedai.
“Ambilkan minum Ipen, Na.” teriak Bapak itu pada putrinya.
“Ambil saja sendiri.” kata gadis yang dipanggil Na.
Ipen pun mengambil gelas di atas meja dan menuangkannya. Dia pun meneguk air dengan lekasnya. Saat itu kedai nasi tidak ramai pengunjung.
Lain cerita jika kedai sedang ramai maka Ipen pun tidak diizinkan masuk dan minum dari gelas yang ada di kedai itu. “Beli saja air minum di warung, ini uangnya.” kata Pak Kedai dan Ipen pun berlalu.
“Terima kasih, Pak.” ujarnya selalu sopan jika ada yang memberi.
Namun hari ini, pemilik kedai tidak mau memberikan Ipen air minum dan uang untuk pembelinya. “Tidak ada hari ini.” tegas Pak Kedai.
“Apa Pen?” tanyaku Ketika singgah untuk membeli sambal karena kesibukan yang padat, aku tidak sempat masak.
“Ada uang pembeli minum, Mar?” tanyanya padaku?
“Berapa yang Pen butuhkan?” kataku sambal mengeluarkan lembaran 5000 rupiah.
“Makasih, Mar.” katanya berlalu dengan wajah sumringah.
Pak Kedai pun menatapku tak percaya, Ipen kenal denganku dan langsung memberikan uang tanpa pikir Panjang.
“Ipen, dulu teman sekolah saya, Pak.” ujarku menghilangkan tanya dari Pak Kedai.
“Dia itu pintar, dan salah seorang lulusan terbaik yang dapat masuk universitas jalur tes di bidang teknik mesin.” jelasku sebelum tanya keluar lebih lanjut.
“Dia tidak mengganggu kok, Bu.Tapi memang suka minta minum dan uang. Sekarang dia lagi bersih dan siap mandi tuh. Kalau lagi kumat, dia nggak mau mandi-mandi.” jelas Ana, anak Pak Kedai.
“Sakitnya sejak ayahnya meninggal.” kata Ana lebih lanjut.
Seandainya mereka tahu, pikirku dalam hati.
***
“Mar, aku mencintaimu.” katanya yang terus terang membuatku tersedak.
“Maaf, maksudnya?” ujarku pura-pura tidak mendengar. Perkataan dari laki-laki yang telah dua tahun menjadi teman sekelas dan teman terdekatku.
“Nggak ada.” Diapun berlalu meninggalkanku. Tidak salahkah Ipen mencintaiku. Kutatap punggungnya yang menjauhiku. Aku pun melupakan kejadian hari itu. Semoga aku salah dengar dari ucapan Ipen.
“Mar, aku mencintaimu.” kata-kata itu tergiang-ngiang lagi Ketika jam pembelajaran terakhir yang gurunya tidak ada.
Ipen pun mendekati bangkuku lagi. “Mar, aku serius lho mengatakan tadi.” Katanya duduk di sebelahku. Bangku yang kebetulan kosong karena teman sebangkuku sedang izin keluar.
“Apa?” tanyaku pura-pura tidak paham lagi padahal aku baru saja memikirkan kata-katanya tadi.
Diambilnya buku tulis yang ada di meja. Dia langsung mengeluarkan pena dan menuliskan sebuah kalimat yang membuatku membelalakkan mata. “Aku mencintaimu.”
“Norak!” teriakku.
“Serius Mar,” katanya meletakkan jari di mulutku agar tidak berteriak kencang.
Matanya melirik kiri-kanan dan kemudian berdiri di sampingku. “Oi, kawan-kawan. Dengarkan ya, kalian jadi saksi, aku mencintai Marni!” teriaknya.
“Gubrak!!!” meja dihempaskan Marni dengan kedua tangannya. Ipen didorongnya dari tempat duduknya. Mukanya merah padam karena malu. Dia pun berlari keluar kelas yang hampir semuanya laki-laki.
Ipen yang ditinggalkan langsung terdiam. Dipikirnya selama ini telah mendapatkan hati Marni karena kedekatan mereka selama dua tahun ini.
***
Sudah dua pekan peristiwa menghebohkan kelas II Elektro 5 terjadi. Aku berusaha menjauhi Ipen. Dia selalu berusaha minta maaf, dan menyuruh menganggap apa yang dia sampaikan itu bukan hal yang perlu dipikirkan. Dia tidak tahu betapa malunya aku ketika dia menyatakan perasaannya di kelas pada semua orang. Padahal dia tahu kalau aku tidak akan pernah mau pacaran dengan siapapun di tengah para siswa sekolah teknik yang hampir semuanya laki-laki ini.
Kenapa? Dia ingin menguji perasaanku padanya? Jujur saja aku memang sangat menyukainya sebagai teman dan kadang juga sebagai laki-laki, namun gengsi akan janjiku membunuh semua perasaan itu. Dia tempat aku selalu curhat akan semua masalah, teman kemana pun aku pergi, teganya dia mengaduk-aduk perasaanku.
Hubungan kami berdua menjadi tidak baik. Ipen menjauh dariku.
“Marni, maafkan ya!” ujarnya setelah peristiwa itu.
“Aku berharap kita tetap berteman ya!” ucapnya lagi yang tidak pernah aku gubris.
Meski kami sepakat untuk tetap berteman namun itu tidak semudah yang diucapkan. Ipen tidak lagi bersamaku, di mana biasa ada Ipen dan di sana juga ada Aku, tidak ada lagi. Ipen menjauh. Aku pun begitu sampai akhirnya jatuh sakit.
Sakit yang kata orang bukan sakit biasa. Sakit yang lumayan lama. Mentalku drop, nilaiku hancur. Aku rindu Ipen, aku rindu kebersamaan kami meski tanpa ada ikatan apapun. Aku kadang sekolah dalam kondisi tidak layak untuk dilihat. Itupun kutahu ceritanya setelah dua bulan kesembuhanku.
“Marni, kamu ke sekolah pernah dengan bedak yang menor, gincu di bibir yang tebal. Akhirnya kami mengantarkanmu pulang. Kamu pun pernah menggigau akan menikah dengan Ipen di hotel dan kalian akan punya perusahaan besar.” cerita Yuli teman dekat perempuan yang sudah kuanggap seperti saudara.
Selama aku sakit, berobatnya tidak hanya medis bahkan sampai ke tempat orang pintar.
“Marni sepertinya diguna-gunai orang ini, Pak.” kata dukun itu pada Ayahku.
“Silakan dia ikat jimat ini di lengannya jika mau pergi sekolah.” pesannya lagi.
Kedua orang tuaku hanya berharap untuk kesembuhanku. Sungguh dalam pikiranku yang terbayang saat itu hanya Ipen. Aku Bahagia jika mengenangnya.
“Marni juga pernah ke kosnya Ipen yang membuat dia takut.” kata Yuli lagi.
Syukurnya lagi, aku tidak lagi satu kelas dengan Ipen. Kami beda kelas setelah kelas tiga. Diapun juga menjauh dariku. Sampai akhirnya tamat di sekolah itu. Aku dengar Ipen lulus di jurusan teknik mesin sedangkan aku harus menganggur karena ayah usahanya bangkrut dan tidak punya biaya untuk menguliahkanku. Ipen adalah salah seorang dari sepuluh siswa yang bisa lolos menjadi mahasiswa lewat jalur tes.
Fisikku memang sudah sehat namun jiwaku tetap sakit. Jimat yang digunakan itupun semakin membuat jiwaku gelisah. Aku tidak bisa tidur setiap malamnya, perasaanku selalu dihantui ketakutan. Meski aku tidak satu sekolahan lagi dengan teman-temanku namun aku tetap sakit dan ketakutanku. Tubuhku kadang sehat kadang sakit, tidak hanya dua bulan aku sakit parah namun bersambung menjadi dua tahun. Aku hanya bisa tidur apabila sudah selesai shalat Hajat dan baca Al quran. Sampai akhirya. Ketika aku bisa kuliah mengejarkan ketinggalanku dua tahun menganggur, barulah aku sembuh total dan bisa tidur dengan nyenyak kembali. Ipen pun juga sudah keluar dari memoriku seiring dengan berjalannya waktu.
***
Kulihat dengan pasti laki-laki yang bajunya lusuh, rambutnya sudah mulai bermunculan uban satu persatu. Sosok yang kukenal tapi siapa ya? Aku penasaran sambil terus mengingat sosok itu. Sampai akhirnya aku menemukan jawaban pastinya.
“Maaf Bu, boleh saya tahu. Ibu yang punya anak namanya Ipen ya, dulu pernah sekolah di SMK Bintang?’ tanyaku pada seorang Ibu yang kami satu bus pulang dari kota kelahiranku. Pembicaraan kami yang panjang sampai cerita di mana aku sekolah dan apa tujuannya pergi ke kota provinsi ini.
“Itulah, ibu mau mengobati anak ibu. Dia sudah lama sakit, jiwanya terganggu setelah ayahnya meninggal. Dia dulu ikut kegiatan perguruan di kampusnya. Sejak ikut itu perilakunya berubah. Jadi anak dulu juga di SMK Bintang ya. Wah satu sekolah sama anak saya.” Ibu itu bahagia bertemu dengan teman anaknya.
“Saya baru pindah di kota ini, Bu. Saya ikut suami di sini. Iya. Saya juga heran, pas pertama kali melihatnya, rasanya kok kenal. Berarti dia memang teman satu sekolah dulu, untuk memastikan saja Bu.”
“Jangan lupa, sapa-sapa saja dia ya. Dia kalau ditegur biasanya menyahut. Dia itu tidak jahat dan tidak ganggu orang, Nak. Oh iya, sudah berapa anaknya sekarang?” tanya Ibu Ipen.
“Alhamdulillah, empat orang Bu.” jawabku segan.
“Kalau Ipen sehat, mungkin dia juga sudah berkeluarga dan Ibu juga sudah menimang cucu.” helanya sambil menarik nafas. Aku pun mengusap tangan Ibu Ipen, ikut prihatin. Ipen yang kukenal waktu sekolah dulu, Ipen yang pernah menyatakan cintanya padaku. Dia bukan Ipenku lagi.
***
“Ipen itu tabaliak kaji, Bu. Dia sakit waktu ikut pengajian-pengajian apa itu? Kemudian ayahnya pun meninggal. Maka semakin sakitlah jiwanya. Sudah dibawa ke rumah sakit jiwa namun tidak tahu juga apa penyebab sakitnya.” cerita Mak Yur, caraka sekolah, tempatku mengajar yang kebetulan masih famili dengan Ipen.
“Dulu waktu sehatnya, dia gagah dan pintar. Banyak perempuan yang naksir dia. Sayangnya di cuma kuliah sampai semester 6 saja. Rasanya dia sudah mau hampir skripsi dan masukkan judul penelitiannya. Tapi bagaimana lagi takdir Tuhan membuatnya begitu.” cerita prihatin Ipen pun terus berlanjut kalau kami sudah bertemu.
“Mama, itu orang gila ya?” tanya anakku menunjuk pada Ipen ketika kami pulang sekolah.
“Bukan, dia tidak gila. Dia sakit, Nak. Bapak itu teman sekolah Mama.” jawabku menjelaskan pada buah hatiku.
“Pernah dia jalan di depan kami pas olah raga, teman-teman teriakkan dia. Ipen gila, Ma.” kata putri keduaku.
“Nggak boleh panggil begitu ya, Nak. Coba kalau keluarga kita seperti itu.” jelasku pada mereka. Aku tidak ingin laki-laki masa laluku yang pernah memberikan kenangan indah dan pahit dalam hidupku.
Masih terngiang cerita Yuli dan kedua orang tuaku. “Marni, sakitmu itu karena guna-guna.”
“Kami yakin yang melakukan adalah Ipen karena sakit hati padamu.” jelasnya.
Aku masih tidak percaya kalau Ipen setega itu padaku. Melihatnya hari ini, dengan cerita orang terdekatnya. Ipen sakit karena tabaliak kaji. Rasa ketidakpercayaan itu mulai memberikan rasa syakwasangka yang berbuah tanya.
“Ipen!” teriaku kalau kami berpapasan. Aku setia dengan motorku dan dia setia dengan jalan tegap maju robot yang dilakukan.
Tidak adakah ingatannya sedikitpun tentang aku. Atau benar apa yang disampaikan oleh teman-temanku dulu. Aku adalah targetnya untuk menaklukan seorang Marni. Demi memberikan penghargaan sebagai laki-laki yang bisa menaklukan semua gadis di sekolahku dulu. Aku masih ingat dia bergonta-ganti pacar dan aku yang tidak berhasil menjadi pacarnya. Merusakku dengan mengguna-gunai. Entahlah.
Kata-kata, aku mencintaimu itu dulu hanya sebagai ungkapan semata tanpa rasa, setelah dia berhasil menjadi penakluk diapun puas. Aku menjadi korbannya namun bukan korban yang bisa ditaklukan dengan mulut manisnya.
“Ipen itu pintar dan banyak gadis yang mendekatinya.” ucapan Mak Yur menceritakan tentang Ipen juga melintas di pikiranku.
***
“Jemput anak ya, Mar?” tanya Ipen yang tiba-tiba menghampiriku.
“Iya.” jawabku dan orang sekelilingku pun memperhatikan.
“Gedung ini, aku yang buat lho Mar. Gedung ini empat lantai. Aku pemborongnya. Dulu ada yang jatuh dari gedung ini pas bekerja membangunnya.” katanya bersemangat bercerita.
Aku hanya tersenyum mendengarkan dia bercerita. Kulihat seseorang menyilangkan jarinya di dahi. “Dia menghayal Bu.” bisiknya.
“Maaf, Pak. Dia teman saya waktu sekolah dulu. Dia pintar kok, Pak.” kataku pada Bapak yang memiringkan jari di dahinya tadi.
“Aku pulang dulu ya, Pen. Anakku sudah keluar dari kelasnya.” kataku pamit pada Ipen.
“Hati-hati ya Mar.” ujarnya.
Hatiku miris melihat laki-laki masa laluku ini, sudah 20 tahun dari masa itu. Kulihat dia tidak lagi berjalan di depan lokasi sekolah anakku, masjid dan rumahnya. Dia kadang sudah jauh berjalan keliling kota ini. Aku berharap tampilannya tidaklah kotor dan dia masih menjaga makanannya. Ya Allah sembuhkanlah temanku ini. Kadang sembunyi-sembunyi kufoto dia. Langsung kuunggah di grup alumni sekolahku dulu.
“Kawan-kawan, masih ingatkah dengan teman kita ini. Namanya Ipen” pesanku di grup.
Tentang Penulis
Linda Tanjung adalah nama pena dari Lindawati, S.S., M.Pd. Linda lahir di Medan, 14 Januari. Berdomisili dengan keluarga kecilnya di kota Payakumbuh. Ibu dengan empat orang putra-putri ini beraktivitas sebagai seorang guru di sekolah swasta, SMP Islam Raudhatul Jannah Payakumbuh dan ibu rumah tangga. Aktif di FLP sejak tahun 2000 sampai sekarang. Linda juga mengelola Pustaka_Dua2 yang konsentrasi di bidang literasi. Bercengkrama dengan anak-anak adalah dunianya dan membuat mereka mau menulis adalah mimpi-mimpinya. Linda sudah melahirkan puluhan karya antologi, dan mengantarkan murid-muridnya menjadi pemenang even menulis Tingkat nasional. Contoh karya-karyanya dapat dilihat dalam antologi cerpen “Mobil Siluman” dalam Antologi 58 Cerpen (anti) Korupsi Peti Mayat Koruptor. Gong Publishing. (2020). Puisi “Negeri Apa Ini” dalam Antologi Puisi Pertemuan Sastrawan Nusantara ke-19 Merekat Retak Cermin Nusantara. Penyelenggara Jasni Matlani. Gapeniaga Sdn. Bhd. Kuala Lumpur. (2018) Linda dapat dihubungi pada nomor handphone/wa 08136331846, Facebook atas nama Linda Wati, Instagram @lin_tanjung. Alamat rumah, Perum Griya Asri Blok HH Nomor 10 Kel. Pakan Sinayan, Kec. Payakumbuh Barat, Payakumbuh-Sumatera Barat, email llindawati00@gmail.com. dan lintanjung14@gmail.com.
Usaha Pembantahan Mitos dalam Cerpen “Ipen” karya Linda Tanjung
Oleh: Azwar
Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat
Cerita pendek berjudul “Ipen” karya Linda Tanjung ini mengingatkan kita pada kondisi sosial masyarakat Minangkabau sebelum revolusi Paderi pada Abad ke-18. Elizabeth E. Graves dalam buku Asal Usul Elite Minangkabau Modern (2007) menyebutkan bahwa gerakan keagamaan pemurnian Islam di Minangkabau pada masa itu merupakan respon atas maraknya khurafat dan penyimpangan agama Islam lainnya.
Bertahun-tahun hingga sekarang, praktik-praktik mistisisme di Minangkabau tidak hilang. Jejak-jejak tradisi tua itu masih bisa ditemui dalam realitas kehidupan masyarakat Minangkabau. Masyhudi dalam buku Perdagangan dan Mistisisme dalam Islamisasi di Sumatera dan Jawa, yang dimuat dalam jurnal Berkala Arkeologi, 23(2), 70–86., menyampaikan bahwa alur perdagangan yang kompleks dan global banyak mempengaruhi corak perkembangan Islam di Nusantara, khususnya cli Sumatera dan Jawa. Pengaruh Hindu-Budism, Pagan India dan Asia Tenggara bagian utara telah rnenjadikan Islam yang berkembang di Nusantara tidaklah berakar pada Islam yang berkembang di Makkah.
Berdasarkan hal di atas praktik mistisisme itu tidak hilang hingga sekarang. Walaupun zaman sudah modern, akan tetapi hal-hal yang tidak bisa diterima oleh nalar manusia masih terjadi. Praktik sihir dan sejenisnya masih berlaku dalam kehidupan masyarakat. Membunuh orang menggunakan sihir, guna-guna menaklukkan hati lawan jenis (laki-laki dan perempuan), pemanis dan segala macamnya hingga praktik penglaris untuk toko atau tempat usaha hingga zaman modern ini masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Realitas di atas direkam oleh Linda Tanjung dalam cerpennya yang berjudul “Ipen”. Cerita pendek yang mengangkat tema realitas sihir dengan bumbu romantisme anak muda itu disuguhkan pada pembaca. Kisah pendek itu bercerita tentang Marni dan masa lalunya. Awal cerita penulis mendeskripsikan tentang Ipen, lelaki tidak waras yang sering ditemui di daerahnya. Ipen yang berjalan seperti robot, Ipen yang suka minta air minum ke warung, Ipen yang kadang tidak peduli dengan penampilan kotornya dan segala hal tentang kegilaan Ipen.
Setelah mendeskripsikan tentang Ipen itu, Linda Tanjung mengajak pembaca flasback pada masa lalu Marni sekitar 20 tahun lalu. Waktu itu Marni masih sekolah di sebuah SMK. Ia berteman dengan Ipen, laki-laki ganteng penakluk hati wanita. Ipen playboy kelas kakap di SMK itu. Ia memacari wanita-wanita yang ia suka. Cerita tersebut juga menyampaikan bahwa Ipen banyak digandrungi oleh perempuan-perempuan muda pada zamannya.
Suatu hari, Ipen menyampaikan perasaannya pada Marni di sekolah mereka. Di hadapan teman-temannya anak SMK Jurusan Elektro itu Ipen meneriakkan pengakuannya bahwa ia mencintai Marni. Marni murka. Ia malu pada teman-temannya atas perlakuan Ipen itu. Berhari-hari kemudian Marni jatuh sakit, ia menghadapi perang batin yang berat untuk diselesaikan.
“Sakit yang kata orang bukan sakit biasa. Sakit yang lumayan lama. Mentalku drop, nilaiku hancur. Aku rindu Ipen, aku rindu kebersamaan kami meski tanpa ada ikatan apapun. Aku kadang sekolah dalam kondisi tidak layak untuk dilihat. Itupun kutahu ceritanya setelah dua bulan kesembuhanku (Linda Tanjung, 2024).”
Penulis menceritakan bahwa tokoh Marni diguna-guna oleh Ipen, karena ia menolak cinta Ipen. Hal seperti ini, kisah yang diceritakan Linda Tanjung ini marak terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu tidak heran muncul istilah seperti “cinta ditolak, dukun bertindak”. Realitas tersebut tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang menjadi sendi kehidupan masyarakat Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,” tapi begitulah realitas, ia kadang tidak selalu sejalan dengan harapan sebagaimana yang seharusnya. Realitas kadang berbeda dengan idealitas yang ada.
Cerita selanjutnya mengisahkan bagaimana Ipen akhirnya menjaga jarak dari Marni. Ia seperti terguncang oleh penolakan Marni. Berdasarkan cerita ini, terlihat penulis masih ragu-ragu untuk menentukan arah cerita. Penulis ragu mengambil posisi dalam cerita apakah akan menolak mitos (guna-guna, pekasih, sihir, dan segala macamnya) dengan memperkuat realitas psikologis bahwa Ipen menjadi sakit (depresi) karena cintanya ditolak oleh gadis yang sangat dia sukai. Berdasarkan cerita, penulis tidak mengemukakan dengan tegas bahwa Ipen mengalami gangguan jiwa karena cintanya ditolak itu.
Sementara itu penulis seolah-olah justru mengukuhkan mitos tentang sihir dan guna-guna itu sendiri dengan menggiring pembaca untuk menyimpulkan bahwa Marni menjadi sakit tak wajar karena guna-guna Ipen. Hal ini dipertegas dengan upaya Marni diobati bukan secara medis, akan tetapi dengan konsultasi kepada dukun yang menyimpulkan bahwa Marni diguna-gunai oleh Ipen. Praktik perdukunan ini sejatinya melanggar ajaran Islam, walau masih marak dalam kehidupan masyarakat Islam.
“Masih terngiang cerita Yuli dan kedua orang tuaku. “Marni, sakitmu itu karena guna-guna.” “Kami yakin yang melakukan adalah Ipen karena sakit hati padamu.” jelasnya. Aku masih tidak percaya kalau Ipen setega itu padaku. Melihatnya hari ini, dengan cerita orang terdekatnya. Ipen sakit karena tabaliak kaji. Rasa ketidakpercayaan itu mulai memberikan rasa syakwasangka yang berbuah tanya. (Linda Tanjung, 2024).”
Kutipan di atas menunjukkan keragu-raguan penulis tentang posisinya apakah akan membantah mitos atau justru mengukuhkan mitos. Dari satu sisi penulis seolah menerima anggapan bahwa Ipen mengguna-gunainya, sementara pada sisi lain ia berusaha menolak anggapan masyarakat terkait hal itu.
Berdasarkan alur cerita, penulis seolah-olah ingin mengatakan bahwa apa yang dialami Ipen yaitu gangguan jiwa karena guna-guna yang dia lakukan berbalik pada dirinya sendiri. Keragu-raguan Linda Tanjung dalam menentukan posisinya membantah atau menerima mitos-mitos yang berkembang merupakan bentuk persepsi umum masyarakat Minangkabau atas praktik khurafat, perdukunan, dan sejenisnya.
Bentuk penolakan penulis akan mitos adalah dengan menyampaikan argumen lain tentang sebab musabab Ipen mengalami gangguan jiwa. Penulis menyampaikan seperti kutipan berikut ini:
“Ipen itu tabaliak kaji, Bu. Dia sakit waktu ikut pengajian-pengajian apa itu? Kemudian ayahnya pun meninggal. Maka semakin sakitlah jiwanya. Sudah dibawa ke rumah sakit jiwa namun tidak tahu juga apa penyebab sakitnya.” cerita Mak Yur, caraka sekolah, tempatku mengajar yang kebetulan masih famili dengan Ipen. (Linda Tanjung, 2024)”
Kutipan tersebut menjelaskan posisi penulis dalam menolak khurafat, sihir, perdukunan, dan sejenisnya. Penulis menyampaikan argumen bahwa Ipen mengalami gangguan jiwa karena mengikuti pengajian yang mungkin bertentangan dengan hal umum. Selain itu Ipen mengalami gangguan jiwa karena kehilangan orang yang dia cintai (ayahnya), bukan karena guna-guna atau praktik perdukunan yang dia lakukan berbalik arah pada dirinya sendiri.
Posisi Linda Tanjung dalam menolak mitos-mitos yang berkembang melalui karya sastra bukan hal yang baru di ranah sastra Indonesia. Forum Lingkar Pena (FLP) sebuah komunitas penulis terbesar di Indonesia sejak tahun 2000-an sudah banyak mengangkat tema tentang penolakan praktik perdukunan, khurafat, sihir dan sejenisnya itu. Linda Tanjung sebagai bagian dari komunitas itu hanya mengukuhkan posisi FLP dalam menolak hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Namun sayangnya, Linda Tanjung tidak “bertegas-tegas” dalam memposisikan diri menolak hal tersebut. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.