Oleh: Vadila Amelia Putri
(Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berkaitan dengan ekspresi dan kreasi, sementara karya sastra adalah karya yang mencerminkan pikiran manusia yang diungkapkan oleh manusia dalam bentuk kata-kata atau gambar (Sumarjo, 1986). Karya sastra terbagi menjadi dua bentuk yaitu fiksi dan non fiksi. Jenis karya sastra fiksi adalah prosa, puisi, dan drama.
Puisi merupakan salah satu bentuk karya yang paling memikat karena keindahan bahasanya. Dalam setiap bait, puisi tidak hanya menggunakan kata-kata yang indah namun juga memiliki makna yang mendalam. Keindahan bahasa dalam puisi mampu menyembunyikan makna yang ingin disampaikan oleh penyair. Dalam proses menciptakan keindahan bahasa, penyair menggunakan berbagai gaya bahasa untuk memperkaya karya mereka. Gaya bahasa merupakan alat penting yang digunakan oleh penyair untuk menarik perhatian pembaca dan membangkitkan emosi terhadap puisi tersebut. Dalam puisi unsur bahasa boleh dikatakan lebih penting, lebih menentukan nilai keindahannya dari pada unsur muatan makna (Nurgiyantoro, 2018: 70).
Ilmu yang membahas gaya bahasa disebut dengan stilistika. Stilistika berhubungan erat dengan stile. Stilistika berfokus pada stile, yaitu bahasa yang digunakan dalam konteks dan variasi bahasa tertentu. Style diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai stile atau gaya bahasa (Nurgiyantoro, 2018: 74-75). Stilistika adalah cabang ilmu linguistik yang memfokuskan pada analisis gaya bahasa, terutama dalam konteks kesusastraan. Turner dalam (Pradopo, 2023: 52), menyebutkan bahwa stilistika berarti studi tentang gaya bahasa, menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan studi yang paling metodis. Kajian stilistika mempelajari penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dalam pendekatan ini, dapat dilihat dari berbagai aspek kebahasaan yang mencakup bunyi, leksikal, struktur, bahasa, figuratif, sarana retorika, dan grafologi (Nurgiyantoro, 2018: 75-76).
Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dalam kajian stilistika dengan gaya bahasa atau majas. Muljana dalam (Wariah, 2014: 2), mengungkapkan bahwa majas atau gaya bahasa adalah susunan perkataan yang timbul atau hidup dalam hati penyair, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Majas adalah gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan sebuah pesan secara imajinatif dan kiasan. Penggunaan majas bisa dalam bentuk tulisan dan lisan dan dipergunakan dalam suatu karya sastra dengan tujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran penulis (Gunawan, 2019: 6). Permajasan (figurative language, figures of thought) adalah teknik pengungkapan bahasa yang tidak hanya mengacu pada makna harfiah kata-kata, tetapi juga menambahkan makna tersirat. Permajasan merupakan stile yang bermain dengan makna secara tidak langsung, sehingga pembaca harus mencari makna yang sebenarnya atau makna yang ingin disampaikan penyair (Nurgiyantoro, 2018: 216).
Dalam menganalisis puisi dapat menggunakan majas metafora, simile, repetisi, ironi, hiperbola, dan personifikasi. Salah satu majas yang sering digunakan oleh para penyair adalah personifikasi. Dalam arti yang sederhana personifikasi memberikan sifat-sifat kemanusiaan kepada benda mati. Melalui penggunaan personifikasi, pembaca diajak untuk melihat dari perspektif yang berbeda, misalnya “awan mulai menangis”. Dalam contoh tersebut awan seolah-olah memiliki sifat manusia dengan kemampuan untuk menangis, meskipun kenyataannya awan hanyalah sebuah fenomena alam yang tidak memiliki emosi seperti manusia.
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 2010: 140). Personifikasi merupakan bentuk permajasan yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Artinya sifat yang diberikan itu hanya dimiliki manusia dan tidak untuk benda-benda atau makhluk nonhuman yang tidak bernyawa dan tidak berakal. Majas ini juga disebut sebagai majas pengorangan, sesuatu yang diorangkan, seperti halnya orang. Sifat-sifat kemanusiaan yang ditransfer ke benda atau makhluk nonhuman itu dapat berupa ciri fisik, sifat, karakter, tingkah laku verbal dan nonverbal, pikiran dan berpikir, perasaan dan berperasaan, sikap dan bersikap, dan lain-lain yang hanya manusia memiliki atau dapat melakukannya. Benda-benda lain yang bersifat nonhuman, termasuk makhluk-makhluk tertentu, binatang, dan fakta alam yang lain tidak memilikinya (Nurgiyantoro, 2018: 235). Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Waridah, 2014: 12).
Salah satu puisi yang dapat dianalisis menggunakan majas personifikasi yaitu berjudul “Sumber” karya Wing Kardjo yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “Selembar Daun”. Wing kardjo adalah seorang penyair Indonesia yang aktif pada masa pemapanan sastra Indonesia tahun 1965 hingga 1998. Wing kardjo memiliki nama lengkap Wing Kardjo Wangsaatmadja. Ia lahir di Garut, Jawa Barat pada tanggal 23 April 1937 dan meninggal di Jepang pada tanggal 19 Maret 2002. Ia pernah menjadi guru besar Sastra Indonesia di Universitas Tenri sejak tahun 1991. Ia pernah menjabat menjadi redaktur kebudayaan di surat kabar Indonesia Express dan redaktur surat kabar Indonesia (khatulistiwa). Sajak pertama yang ia tulis berjudul “Selembar Daun” diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1974 dan berisi puisi yang ditulisnya selama dua belas tahun. Pada tahun 1975 terbit buku kumpulan puisinya yang kedua yang berjudul “Perumahan” diterbitkan oleh Budaya Jaya. Pada tahun 1977 terbit lagi kumpulan sajaknya yang berjudul “Fragmen Malam” diterbitkan oleh Pustaka Jaya.
Dalam puisi “Sumber” penyair ingin menyampaikan tentang kehilangan, kesepian, kekecewaan dan kehampaan yang dialami oleh seseorang ketika kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Dalam puisi tersebut digambarkan seseorang yang bahagia mengingat seseorang yang sangat penting baginya, namun pada larik berikutnya ia tersadar bahwa orang tersebut tidak ada lagi bersamanya. Ia juga merasakan kekecewaan karena berharap orang yang sangat penting tersebut hadir kembali dalam hidupnya, namun kenyataan pahit yang diterimanya. Puisi “Sumber” terdiri atas tiga bait yaitu sebagai berikut:
Sumber
Karya Wing Kardjo
Selalu kureguk sinar matamu
keyakinan menghargai hari
tak sangka helai demi helai daun
turun mengubur tubuhmu dengan kelam
Begitulah: matahari terbaring
membakar rumput kuning
langit bernafas sunyi
meniupkan lagu kering
Kala bel berdering
kukira kau pulang
kubuka pintu:
angin melengos bisu
1967
Dari bait-bait dalam puisi tersebut dapat dilihat adanya beberapa majas personifikasi, yaitu pada larik “tak sangka helai demi helai daun turun mengubur tubuhmu dengan kelam”. Personifikasi dapat dilihat pada “helai demi helai daun turun mengubur tubuhmu”. Pada larik tersebut daun seolah-olah bisa melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, seperti mengubur tubuh seseorang. Padahal pada kenyataannya daun tidak bisa melakukan hal tersebut karena daun hanya benda mati tanpa kehidupan seperti manusia. Dengan menggunakan majas personifikasi, penyair menciptakan gambaran yang kuat tentang kehilangan, sehingga pembaca bisa merasakan bagaimana perasaan kesedihan yang dirasakan oleh orang yang ditinggalkan.
Larik berikutnya yang menggunakan majas personifikasi yaitu “Begitulah: matahari terbaring membakar rumput kuning” Pada larik ini penyair menggambarkan bahwa matahari seolah-olah bisa melakukan hal yang biasanya hanya manusia bisa lakukan, yaitu berbaring dan membakar. Seperti pada larik sebelumnya daun dipersonifikasikan dengan sifat manusia, penyair juga melakukan hal yang sama untuk menggambarkan matahari. Meskipun sebenarnya matahari hanya sebuah bintang besar di langit yang tidak bisa bergerak, berbaring, atau membakar seperti manusia. Dalam puisi ini penyair memberikan kesan bahwa matahari bisa berbaring dan membakar. Dilihat dari larik sebelumnya, pada larik ini menunjukan bahwa penyair menggambarkan matahari menjadi bagian dari gambaran tentang seseorang yang dikubur, seperti yang disebutkan pada larik sebelumnya.
Selanjutnya majas personifikasi dapat dilihat pada larik “langit bernafas sunyi meniupkan lagu kering”. Dalam konteks ilmiah langit dianggap benda mati karena langit bukanlah makhluk hidup dan tidak memiliki sifat-sifat kehidupan seperti bernas dan meniup yang hanya dimiliki oleh manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia langit merupakan ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat terlihatnya bulan, bintang, matahari, dan planet yang lain. Langit terdiri atas lapisan udara, awan, dan atmosfer yang membentang di atas permukaan bumi. Pada larik tersebut penyair ingin menggambarkan bahwa langit juga ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh orang yang ditinggalkan atau orang yang sedang berduka.
Bait terakhir yang menunjukan majas personifikasi yaitu “angin melengos bisu”. Pada larik ini angin diberikan sifat manusia yaitu “melengos” dan “bisu”. Melengos menggambarkan kelemahan atau kelesuan yang merupakan sifat manusia. Bisu menggambarkan ketiadaan suara, seperti manusia yang tidak mampu berbicara. Namun makna dalam bait terakhir adalah seseorang yang merasakan kekecewaan karena berharap seseorang yang ia tunggu akan datang.
Dalam puisi “Sumber” karya Wing Kardjo, penggunaan personifikasi memberikan sentuhan yang emosional. Penyair menggambarkan alam seperti daun, matahari, langit, dan angin seolah-olah memiliki perasaan layaknya manusia. Meskipun sebenarnya, benda-benda alam tersebut hanya objek tanpa kehidupan, namun melalui stile yang digunakan oleh penyair, pembaca dapat merasakan perasaan yang ingin disampaikan penyair. Puisi ini menunjukan kepada pembaca untuk memahami perasaan orang yang sedang mengalami kesedihan, kehilangan, dan harapan yang pupus. Dengan penggunaan majas personifikasi, pembaca dapat merasakan ikatan yang emosional antara manusia dan alam.