Oleh: Rosidatul Arifah
(Mahasiswi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Novel Persiden karya Wisran Hadi adalah sebuah karya fenomenal yang diangkat Wisran Hadi dari kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Minangkabau yang sangat kental. Menceritakan tentang suatu perkara kaum (suatu keluarga besar) yang terbelit dalam urusan rumit dan berputar-putar di sana. Persiden sendiri adalah nama sebuah mal di sebuah persimpangan di Kota Padang. Tempat bertemu segala manusia dari setiap penjuru. Tempat itu menjadi patokan waktu dan arah mata angin. Tempat semua hidup dan bergerak. Persiden adalah pemelesetan kata dalam bahasa Indonesia, Presiden. Bagi orang Minangkabau asli, mengucapkan dua huruf konsonan di awal adalah suatu beban yang mengganggu dan sulit untuk dilafalkan sehingga kata presiden dengan mudahnya dikenal oleh masyarakat sekitar dengan persiden.
Hal yang menarik dalam novel ini adalah saat Wisran Hadi menyuguhkan para tokoh dengan nama-nama yang sesuai dengan perangai (tingkah laku) yang direkatkan padanya. Nama-nama tokoh tersebut berhubungan dengan realitas sosial Minangkabau. Oleh sebab itu, perlu diungkapkan makna dari nama-nama tokoh dan juga terdapat beberapa pemelesetan serta permainan kata yang dihadirkan Wisran untuk menyatakan beberapa keterangan tempat yang benar-benar ada dalam kehidupan nyata. Berikut di antaranya :1. Mpang tinju = Simpang tinju, 2. Bukbaya = Lubuk buaya, 3. Kampus bungata = Kampus Bung Hatta, 4. Lakarang = Ulak Karang, 5. Teba = Siteba, 5. Mambonjo = Imam Bonjol, 6. Paratingga = Parak Tingga, 7. Pasausang = Pasar Usang, 8. Itawa= Air Tawar, 9. Pasausang = Pasar Usang, 10. Surauang (surang ang) = Surau Ang/ Surau kamu ialah sebuah surau yang digambarkan milik kaum muda, yang tidak lagi digunakan sepenuhnya untuk beribadah saja, namun banyak hal-hal yang dianggap tidak lagi sesuai dengan syariat agama yang diperbuat oleh kaum muda, terutama anak-anak persiden di sana. Selain nama tempat, nama-nama tokoh juga dipelesetkan di keluarga rumah bagonjong.
Pertama, Pa Tandang (dalam bahasa Minangkabau patandang ialah orang yang senang ke sana kemari/bertandang) pa tandang digambarkan sebagai kakak tertua dari keluarga rumah bagonjong namun tidak memiliki wibawa seperti yang diinginkan kaumnya, terutama untuk menyelesaikan masalah Malati (keponakannya).
Kedua, Pa Mikie (dalam bahasa Minangkabau Pamikie ialah orang yang suka berfikir) Pa Mikie digambarkan sebagai seorang yang suka berfikir, namun kejeliannya dalam berfikir ini acap kali dipelesetkan menjadi suatu bualan, Pa Mikie dengan mudah bisa mengelabui orang dengan cerita yang dibuat-buat dan dipikirkan sendiri. Pamikie merupakan saudara dari Pa Tandang dan bagian dari keluarga Rumah Bagonjong.
Ketiga, Pa Rarau (dalam bahasa Minangkabau Pararau ialah orang yang suka meraung-raung dengan berlebihan) di dalam novel, Pa Rarau digambarkan sebagai seorang yang jenaka, gampang tertawa apalagi menangis. Apabila tertawa, Pa Rarau akan bersuara sekeras-kerasnya, bahkan sampai berguling-guling karena geli. Pun juga apabila menangis, Pa Rarau juga akan merarau sejadi-jadinya, hingga berguling-guling. Pa Rarau merupakan saudara dari Pa Tandang dan Pa Mikie.
Keempat, Pa Ragih (dalam Bahasa Minangkabau, ragih berarti memberi) Pa Ragih digambarkan sebagai saudara yang suka memberi/maragih. Ini dibuktikan ketika Pa Ragih pulang ke Rumah Bagonjong, walau tidak mendapatkan sambutan yang ia kehendaki dan tidak juga menemukan apa yang hendak ia cari, dan hendak ia benarkan dalam keluarga rumah Bagonjong, namun pa Ragih tetap memberikan gelang emasnya kepada Ci Inan, adik bungsu mereka. Pa Ragih hidup merantau ke negeri sebelah dan hidup berkecukupan secara finansial daripada saudaranya yang lain.
Kelima, Ci inan (dalam bahasa Minangkabau, cinan berarti suka atau tertarik) cinan merupakan satu-satunya saudara perempuan dari keluarga rumah Bagonjong yang digambarkan sebagai seseorang yang tamak dan ingin menguasai semua harta dan seisi rumah Bagonjong. Karena menurutnya, hanya ialah satu-satunya pewaris Rumah Bagonjong, karena dalam kepercayaan masyarakat Minangkabau, harta pusaka kaum diwariskan kepada anak perempuan. Sehingga ci inan berhasil mengusir semua kakaknya dan saudara laki-lakinya dari rumah Bagonjong. Selain itu, tokoh tambahan juga dipelesetkan namanya dalam novel Persiden, seperti nama-nama di bawah ini.
Pa Lendo (Palendo dalam bahasa Minangkabau berarti penabrak, penyelonong) Pa Lendo merupakan suami dari Ci Inan yang digambarkan suka menyelonong (ikut-ikutan) masalah Kaum Rumah Bagonjong yang dalam adat Minangkabau hal tersebut merupakan sesuatu yang menyimpang, karena Pa Lendo sebagai seorang suami Ci inan, sumando (Semenda) Rumah Bagonjong pada aturannya tidak boleh ikut campur urusan keluarga Ci Inan, karena dianggap cacat secara adat.
Malati anak Pa Lendo dan Ci inan. Malati digambarkan sebagai sebuah bunga melati yang wangi dan menyejukkan mereka yang menanam. Malati diharapkan keluarga rumah Bagonjong sebagai satu-satunya pewaris dari rumah Bagonjong yang akan melanjutkan garis keturunan rumah Bagonjong secara adat. Gadis yang cantik dan cerdas, namun sayangnya hal tersebut tidak dimanfaatkan Malati sebagaimana yang diinginkan oleh keluarga rumah Bagonjong. Malati hamil diluar nikah yang membuat malu keluarga rumah Bagonjong.
Comaik dalam bahasa Minangkabau co maik (tubuh kurus kering seperti mayit) digambarkan seseorang yang sangat kurus dari segi fisik nya. Sansai ( sepupu pak mikie dari pihak ibu) = Sansai atau marasai dalam bahasa Minangkabau bermakna sengsara atau melarat. Sansai digambarkan sebagai seorang yang sengsara dalam kehidupannya karena tidak berkecukupan secara material.
Taci cie (adik ibu pa tandang) Tacicie atau taserak dalam bahasa Minangkabau berarti tercecer. Tacicie digambarkan sebagai salah seorang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga rumah Bagonjong, namun memutuskan untuk tidak berhubungan dengan keluarga rumah Bagonjong karena ketamakan pada harta pusaka. Taci cie membangun rumah yang lumayan berjarak dengan keluarga rumah Bagonjong. Makna Tacicie disini sebagai seseorang yang tercecer dari kaumnya, suka mengucilkan diri dan membuang diri dari kaumnya (rumah bagonjong).
Baba lian Suami Tacicie. Baba lian dalam Minangkabau Babalian berarti dibelikan. Suami yang dibelikan untuk Taci cie. Duto atau dusta dalam bahasa Minangkabau ialah orang yang sering berbohong/berdusta. Sesuai namanya, Duto digambarkan sebagai orang kampung tukang menyebarkan gosip dan berita tidak benar. Jinaha (jihin) dalam bahasa Minangkabau disebut jin atau seseorang yang tindak tanduknya seperti jin. Jinaha dikabarkan sebagai seorang yang mempunyai pekerjaan tukang nikah, yang menikahi banyak janda demi untuk uang semata.
Mas Sam kadang dipelesetkan menjadi Masam, seorang penjual jeruk di simpang Persiden. Dinamai demikian karena menjual jeruk yang acapkali masam (asam). Lala (dalam bahasa Minangkabau palala) ialah sebutan bagi mereka yang senang berpergian dan hura-hura tidak karuan. Lala digambarkan sebagai seorang istri yang tidak manut pada suaminya hingga pernah hendak mencelakakan suaminya yang cacat secara fisik. Lala sering keluar dengan lelaki lain dan tidak senang lama berada di rumah.
Sampiran adalah nenek/saudara dari Uni Syaf dan Uni Emirat (Salah satu keluarga rumah Bagonjong). Kita mengenal Sampiran dalam sebuah pantun ialah pengantar untuk isi pantun, adalah bagian yang dianggap tidak terlalu penting dalam pantun. Sampiran disini pun digambarkan sebagai seseorang yang tidak terlalu penting dari keluarga rumah Bagonjong, dibuang/diusir oleh kaumnya karena ketahuan hamil di luar nikah. Sampiran dianggap sebagai aib dari rumah Bagonjong kala itu, sehingga dibuang ke sebuah tempat bernama Lubuak. Anak cucu keturunan rumah Bagonjong tidak pernah mengenal sampiran karena tidak pernah diceritakan sedikitpun sampiran dianggap telah mencoreng nama baik keluarga rumah Bagonjong.
Bu Nian (bunian dalam kepercayaan orang Minangkabau adalah spesies hantu yang tinggal di alam lain) Bunian merupakan anak dari nenek sampiran yang hamil di luar nikah. Bunian terus menerus disembunyikan karena dianggap aib. Ma Nenggang dalam bahasa Minangkabau menenggang berarti menimbang perasaan orang lain. Ma Nenggang ialah Nenek dari anak Malati, atau mertua Malati. Ma Nenggang digambarkan sebagai seorang yang baik dan menenggang perasaan dari para mamak keluarga rumah Bagonjong, untuk menyerahkan cucunya, Bijo kepada para mamaknya, namun hal itu tidak jadi dilaksanakan Ma Nenggang karena dimimpikan oleh Nenek Sampiran yang masih bertalian darah dengannya. Dalam mimpi tersebut, Ma Nenggang dilarang untuk memberikan Bijo (anak Malati) kepada para mamaknya.
Maudian (suami Malati) Maudian berasal dari kata Udi yang dalam bahasa minang berarti kesialan/ bala. Maudian dilambangkan sebagai Kesialan yang memalukan keluarga Ma Nenggang, karena seorang guru mengaji yang menghamili anak gadis orang. Bijo (Anak malati) dalam bahasa Minangkabau yaitu Biji/Bibit. Bijo merupakan anak dari Malati yang sekaligus menjadi satu-satunya penerus generasi rumah Bagonjong dan keluarga Maudian di Lubuk. Tilang identik dengan seseorang yang berprofesi sebagai polisi. Tokoh Tilang disini digambarkan sebagai seorang pensiunan polisi yang baik hati. Maijen (yang punya rumah sewaan Maudian) Maijen/Mayjen = mayor Jendral, merupakan seorang mantan tentara yang kini menjaga kost-kostan.
Wisran Hadi membungkus novel ini dengan latar budaya Minangkabau dan berhasil mengangkat para tokoh yang diceritakan dalam novel dengan kearifan lokal dan budaya Minangkabau, serta mengabadikan dalam setiap penamaan tokoh dan tempat yang diceritakan dalam bentuk pemelesetan dan permainan kata yang menjadi ciri khas utama novel ini.