Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Ketika perempuan menjadi seorang economic provider dalam keluarga, bolehkah ia hanya berfokus pada pencapain saja tanpa dibebani tugas mengurus yang lain? Sepertinya tidak. Ia tetap diposisikan sebagai pilar utama untuk mengasuh dan mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci menyeterika. Bila pun ada, hal itu akan disertai bisik-bisik tetangga dan recokan anggota keluarga yang lain.
Perempuan itu akan dianggap menyalahi kodrat. Suaminya pun tak luput dari bisik-bisik dan recokan orang lain. Ia akan mendapat gelar sebagai lelaki pemalas meskipun di rumah ia menjadi pilar utama untuk mengurus tugas-tugas rumah tangga. Sebagian pasangan menutup telinga dari bisik-bisik dan recokan itu. Sebagian lainnya justru memaksa diri berganti posisi meskipun istri sebagai provider lebih menjamin kelangsungan hidup dibanding suami. Tidak sedikit kan, perempuan dengan karier gemilang berhenti bekerja setelah menikah demi membangun rumah tangga yang “sesuai kodrat” di masyarakat?
Akan tetapi, bagaimana bila economic provider dalam keluarga itu adalah seorang lelaki? Bolehkah ia hanya berfokus pada pencapaian saja tanpa dibebani tugas mengurus yang lain? Sepertinya boleh, karena anggapan “memang begitulah seharusnya”. Ia tidak perlu ambil bagian dalam pilar mengasuh dan mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci menyeterika. Hal begini dianggap lazim dan ia akan terbebas dari bisik-bisik tetangga dan recokan anggota keluarga.
Minggu lalu, ‘man provider’ menjadi kata yang diributkan oleh pengguna X. Banyak persoalan yang sebetulnya menjadi bahasan lanjutan setelahnya. Hanya saja, cukup terasa lucu bila sekadar menjadi economic provider diartikan telah bertanggung jawab secara penuh tanpa perlu terlibat dalam urusan rumah tangga yang lain. Padahal, peran ini hanyalah satu bentuk peran di antara bentuk peran lainnya seperti sebagai pelindung dan pengasuh.
Lebih lucu dari itu, ada anggapan bahwa bila laki-laki menjadi provider dalam rumah tangga, perempuan hanya perlu ‘taat’ dan ‘nurut’. Tidak seharusnya perempuan menuntut hal lain seperti tuntutan untuk ikut serta dalam tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan. Logikanya menjadi semakin lucu bila peran provider ini dilimpahkan kepada perempuan. Bila kondisinya demikian, laki-laki hanya perlu ongkang kaki, pergi mancing, atau memelihara burung. Mereka tidak dituntut ‘taat’ dan ‘nurut’ untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan.
Anggapan peran man provider diposisikan sebagai pemegang tanggung jawab secara penuh tanpa perlu mengurus yang lain tampaknya perpanjangan dari anggapan 224 tahun yang lalu. Pada tahun 1800-an, pekerjaan yang berkaitan dengan mengurus anak dan rumah dianggap sebagai kerja yang tidak perlu dikuantifikasi. Hanya karena tidak menghasilkan jumlah dalam bentuk angka-angka, aktivitas domestik dikecualikan sebagai penyumbang dalam kemakmuran ekonomi keluarga.
Di tahun-tahun tersebut, hanya laki-lakilah yang dianggap sebagai manusia ekonomi, sedangkan perempuan tidak. Akan tetapi, tahun-tahun telah berlalu demikian panjang. Boleh jadi, anggapan tersebut sudah terbilang kuno mengingat banyaknya perempuan bekerja bahkan turut sebagai economic provider dalam rumah tangga di masa sekarang.