Oleh: Siti Rubaiah Al Adawiyah
(Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Kasih sayang dibutuhkan oleh semua manusia dalam kehidupannya. Dalam pandangan psikologi humanistik Abraham Maslow, kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan dasar hieraki, pemenuhan kasih sayang berdasarkan pada perasaan positif yang dimiliki oleh pihak yang mencintai. Hal ini melibatkan hubungan antara dua indvidu yang sehat yang dimana antara keduanya penuh kasih sayang dan keintiman, serta rasa saling percaya.
Salah satu kasih sayang yang diinginkan oleh setiap individu adalah kasih sayang dari seorang ibu. Ibu merupakan sosok yang mengalami kehamilan serta menjalani proses persalinan untuk melahirkan seorang anak ke dunia (Astiwara dalam Cahyaningrum, 2018). Dalam susunan sebuah keluarga, ibu merupakan bagian paling penting untuk merawat anak dengan keterampilan yang ia miliki.
Penggambaran kasih sayang seorang ibu banyak dituangkan ke dalam berbagai karya sastra, salah satunya adalah puisi. Dua puisi karya sastrawan terkenal yang memiliki tema tentang ibu yaitu puisi “Ibu” karya Chairil Anwar dan puisi “Ibuku Dehulu” karya Amir Hamzah. Kedua puisi tersebut memiliki kemiripan makna dengan gaya bahasa yang dimiliki masing-masing. Gaya bahasa dapat mempermudah proses mengkomunikasikan ide/pemikiran yang kita ingin sampaikan kepada orang lain melalui tulisan khususnya karya sastra. Gaya bahasa merupakan karakteristik yang menjadi pembeda seorang penulis dalam menyampaikan perasaannya melalui penggunaan bahasa (Keraf, 2005).
Terdapat tiga bagian utama dari puisi “Ibu” karya Chairil Anwar dan puisi “Ibuku Dehulu” karya Amir Hamzah yang memiliki kemiripan makna. Bagian tersebut adalah penggambaran interaksi anak dan ibu, pengungkapan kasih sayang ibu, serta penggambaran kasih sayang ibu. Meski keduanya sama-sama bertemakan ibu, namun terdapat perbedaan cara pengungkapan sosok ibu bagi Chairil Anwar dan Amir Hamzah.
Bagian pertama adalah mengenai interaksi anak dan ibu, seperti yang terkandung dalam bait berikut.
Ibu….
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Bait di atas menggambarkan bagaimana interaksi seorang anak dan ibu yang saling melengkapi satu sama lain. Sosok anak yang merajuk, manja, melawan, dan menangis sebagai bentuk untuk mengekspresikan dirinya. Namun, ibunya memberikan respon kasih sayang yang mungkin terlihat tidak menyenangkan dengan menyebutkan beberapa kata seperti manja, degil, dan lemah. Hal itu adalah sebagai sebuah majas ironi, dimana kata-kata atau perilaku yang digunakan memiliki makna berbeda dengan yang diucapkan, seperti dalam bait tersebut. Respons yang diberikan sang ibu cenderung terlihat tidak sesuai harapan. Namun, pada kenyataannya itu adalah sebuah cara untuk memberikan pengajaran tentang kemandirian dan ketahanan kepada sang anak dalam menghadapi kehidupan.
Ibuku dehulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada peduli apa terjadi
Dalam bait tersebut terjadi interaksi yang memperlihatkan kemarahan seorang ibu kepada anaknya dengan diam, sedangkan sang anak merajuk sebagai bentuk kekhawatiran, kebingungan, atau kesedihan terhadap sang ibu. Kediaman sang ibu adalah sebagai bentuk kasih sayangnya dengan mengendalikan emosi agar tidak meledak dengan berdiam diri. Hal ini dilakukan karena jika ia mengeluarkan kata-kata ketika emosi, ia akan terbawa amarah. Bait ini menggunakan majas antisesis, yaitu penggunaan kontras yang kuat untuk menciptakan efek dramatis. Dalam bait tersebut terlihat kontras antara sikap ibu yang diam dan anak yang merajuk. Selanjutnya, adalah bait yang menyatakan tentang kasih sayang seorang ibu kepada anak, seperti berikut.
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarahi
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Pada bait tersebut memperlihatkan bagaimana kasih sayang dari seorang ibu ditunjukkan. Seorang ibu tidak menunjukan bentuk kasih sayang dengan memanjakan anaknya melainkan dengan melakukan tindakan seperti menegur, memarahi, dan mengajarkan anaknya. Hal ini memang terasa tidak menyenangkan dan sulit diterima, namun pada dasarnya hal ini akan melatih anak untuk bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk bimbingan yang diberikan oleh ibu kepada anaknya. Majas yang digunakan pada bait ini adalah majas repetisi, yaitu majas pengulangan yang digunakan untuk menegaskan suatu kata dan memberikan efek ritmis. Kata “pernah aku” dan “katanya” digunakan berulang dan saling bersahutan untuk menunjukan bagaimana cara seorang ibu menunjukan kasih sayang dengan mendidik anaknya.
Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergerak
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih kerana lakuku
Terus aku berkesal hati
Menurutkan setan, mengkacau-balau
Jurang celaka terpandang di muka
Kusongsong juga – biar cedera
Pada kedua bait tersebut, terlihat bahwa sang ibu sudah merasa marah pada anaknya. namun, ia memilih menatap anaknya dengan menahan amarah yang dimilikinya, sedangkan sang anak bertindak dengan menuruti nafsu, melakukan berbagai tindakan yang menunjukan kekesalannya hingga menyebabkan kekeliruan. Hal ini menggambarkan bagaimana sikap sang ibu yang meskipun sudah merasa marah. Namun, ia tetap memilih diam menahan emosinya. Padahal, sang anak malah merespon dengan melakukan tindakan-tindakan yang semakin tidak menyenangkan. Beberapa majas yang digunakan pada bait-bait tersebut adalah sebagai berikut.
Matanya terus mengawas daku, Walaupun bibirnya tiada bergerak. Larik tersebut merupakan majas personifikasi yang menggambarkan bahwa anggota tubuh seperti memiliki kehidupan sendiri dengan mata yang melakukan pengawasan dan bibir yang diam tidak bergerak. Mukanya masam menahan sedan. Larik tersebut merupakan majas hiperbola, yaitu majas yang melebih-lebihkan suatu hal untuk memperkuat emosi yang ingin disampaikan. Pada lirik tersebut digambarkan muka yang masam karena menahan ‘sedan’ sebagai bentuk perasaan yang kuat dan berlebihan.
Ibu….
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Bait tersebut menunjukan ketulusan dan pengertian yang dimiliki seorang ibu terhadap anaknya. Hal itu dapat dilihat bahwa sang ibu senantiasa memberikan nasihat ketika anaknya melakukan kesalahan, berdoa ketika anaknya mengalami kekecewaan, mengobati, dan menyemangati ketika anaknya mengalami rasa sakit, serta bersyukur ketika anaknya mendapatkan kebahagiaan.
Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya segera dikecupnya serta dahiku berapi pancaran neraka
Sejuk sentosa turun ke kalbu
Pada bait tersebut ditunjukkan bagaimana ketulusan dan pengertian seorang ibu dengan memberikan pelukan dan kecupan sebagai bentuk dukungan terhadap anaknya. Hal ini menggambarkan bagaimana seorang ibu yang menyayangi anaknya tanpa syarat. Kedua puisi tersebut memiliki makna yang menunjukan bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Namun, masing-masing penyair memiliki gaya dan ciri khas yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh latar belakang dan preferensi kolektif masing-masing penyair.
Chairil Anwar merupakan seorang penyair Indonesia pelopor angkatan ’45. Ia dikenal dengan karya-karya puisi modern yang membahas terkait kehidupan, cinta, dan pemberontakan norma sosial. Karya-karyanya masih begitu terkenal hingga sampai saat ini. Dari generasi ke generasi senantiasa menyukai karya puisi ciptaannya. Ia membawa revolusi dalam dunia sastra Indonesia khususnya pada puisi. Dalam puisi “Ibu”, Chairil Anwar menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan lugas namun memiliki kedalaman makna dan emosi yang kuat. Permainan kata yang dirangkainya menciptakan dinamika ibu dan anak yang berhasil menampilkan ekspresi yang dialami oleh keduanya. Chairil Anwar merupakan sastrawan yang hidup di masa pergerakan, maka dari itu karyanya banyak menceritakan tentang semangat perubahan dan penolakan terhadap keterbatasan. Sementara itu, Amir Hamzah merupakan seorang penyair yang berasal dari Sumatera Utara. Ia terkenal dengan karya-karyanya yang penuh dengan romantisme dan sentimen. Ia juga disebut sebagai “Raja penyair pujangga baru”. Karya-karyanya menggambarkan tentang keindahan serta pergolakan batin manusia.
Puisi “Ibu Dehulu”, Amir Hamzah menggunakan bahasa yang cukup tradisional dan bersifat romantik. Bahasa-bahasa yang digunakan merupakan Bahasa metaforis yang menunjukkan hubungan ibu dan anak yang penuh konflik dan pergolakan emosional. Ia dibesarkan dalam pengaruh budaya Melayu yang begitu kuat, sejak kecil diperkenalkan dengan sastra lisan, pantun, dan syair sehingga ia selalu bercakap dengan bahasa Melayu. Hal itu mempengaruhi karyanya.